Diduga Diintervensi dan Difitnah, Wartawan AKPERSI Desak Gelar Perkara Dilakukan di TKP, Bukan di Polres Tebing Tinggi


LENSAMATA.COM-Sumut, Kasus pelaporan dugaan penganiayaan yang menyeret keluarga wartawan Satam JM dari Asosiasi Keluarga Pers Indonesia (AKPERSI) terus menjadi sorotan publik. Indikasi pemaksaan proses hukum, dugaan intervensi terhadap jurnalis, hingga hilangnya alat bukti penting menambah deretan kejanggalan yang kini ramai diperbincangkan, khususnya di kalangan insan pers.

Informasi yang dihimpun menyebutkan bahwa penyidik Polres Tebingtinggi tetap bersikeras membawa perkara ini ke ranah pengadilan. Hal ini dinilai kontroversial mengingat sejumlah fakta di lapangan justru mengindikasikan bahwa pihak pelapor, Anggraini alias Ani, diduga sebagai pelaku penyerangan terhadap rumah terlapor di Dusun II, Desa Kuta Baru, Kecamatan Tebingtinggi, Kabupaten Serdang Bedagai.

Bukti Rekaman Penyerangan Dihapus dari Media Sosial

Satam JM, wartawan yang dilaporkan bersama keluarganya, menegaskan bahwa rekaman video insiden penyerangan sempat beredar di media sosial sebelum akhirnya dihapus oleh pelapor. Video tersebut, menurut Satam, dengan jelas menunjukkan aksi penyerangan yang dilakukan oleh pelapor terhadap kediamannya.

“Rekaman itu pernah diviralkan sendiri oleh pelapor di Facebook, lalu dihapus. Saya masih menyimpannya sebagai bukti. Anehnya, pihak kepolisian justru tetap memproses laporan terhadap kami seolah-olah kami pelaku, padahal kami adalah korban,” ungkap Satam.

Dugaan Kriminalisasi Wartawan dan Penggiringan Opini

Satam menduga adanya upaya sistematis dari oknum di tubuh Polres Tebingtinggi untuk memaksakan proses hukum terhadap dirinya sebagai bentuk kriminalisasi terhadap wartawan yang kritis.

“Hubungan antara polisi dan wartawan seolah hanya manis di permukaan, terutama saat Hari Pers Nasional. Tapi realitasnya, kami tetap rentan ditekan. Ini bukan kali pertama, dan menjadi bukti nyata bahwa kebebasan pers masih terancam,” ujar Satam.

Penasehat Hukum: Unsur Pidana Lemah, Layak SP3

Kuasa hukum Satam, Hendra Prasetyo Hutajulu, SH., MH., menilai bahwa laporan penganiayaan yang diajukan oleh pelapor tidak memenuhi unsur pidana yang cukup untuk dilanjutkan ke persidangan.

“Bukti dan saksi kunci tidak mendukung dakwaan. Alat bukti utama justru menunjukkan bahwa pelapor adalah pihak yang melakukan penyerangan. Karena itu, secara hukum, perkara ini layak dihentikan melalui penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3),” tegas Hendra.

Desakan Gelar Perkara di TKP dan Evaluasi Propam Mabes Polri

Satam dan tim hukumnya mendesak agar gelar perkara tidak dilakukan di lingkungan Polres Tebingtinggi, melainkan langsung di lokasi kejadian (TKP) untuk menjamin objektivitas dan transparansi. Mereka juga meminta Propam Polda Sumut serta Mabes Polri melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Tebingtinggi yang menangani kasus ini.

“Kami menduga ada upaya penggiringan opini dan permainan internal yang mencederai keadilan. Gelar perkara di TKP akan memperlihatkan secara nyata konteks kejadian kepada seluruh pihak. Jika dibiarkan, ini bisa menjadi preseden buruk tentang bagaimana aparat memperlakukan wartawan yang menjalankan tugas jurnalistiknya,” tutup Satam.


(Red)

Posting Komentar untuk "Diduga Diintervensi dan Difitnah, Wartawan AKPERSI Desak Gelar Perkara Dilakukan di TKP, Bukan di Polres Tebing Tinggi"